Rabu, 22 Maret 2017

Surat Rujukan Orang Tua Saya

Kepada Yth TS Dokter umum/spesialis
Di Seluruh Indonesia


Perkenalkan nama saya dr. Frisa Buzarudina. Saat ini saya sedang menjalani program internsip di salah satu Puskesmas di perbatasan Indonesia. Saat ini saya sedang jaga malam dan baru saja saya menangani pasien dengan Hipertensi urgency menggunakan obat-obatan yang sangat terbatas.

Setelahnya, saya teringat pada Ibu dan Ayah saya yang terpaksa saya tinggalkan untuk menjalani tugas saya sebagai dokter disini. Mereka sudah cukup tua, Ibu saya berumur 62 tahun dan Ayah saya berumur 65 tahun. Keduanya mengidap hipertensi.

Di usia senja mereka saya seharusnya ada di samping mereka, utk setidaknya memeriksa tekanan darah mereka setiap hari. Namun demi tugas, saya tidak bisa melakukannya. Seringkali memang saya merasa berdosa karena hal itu. Dan saya tau saya tidak sendiri. Mungkin banyak TS di luar sana juga mengalami hal yang sama dengan yang saya alami. Punya kemampuan untuk merawat dan mengobati orang lain, tapi tidak punya kesempatan untuk melakukannya pada orang tua sendiri.

Dari sini saya hanya bisa memantau via telpon/text mengenai kesehatan kedua orang tua saya. Setiap mereka mengeluh sakit saya disini hanya bisa merekomendasikan kemana sebaiknya mereka berobat, tanpa bisa setidaknya mengecek berapa nadi mereka permenit. Mungkin TS sekalian juga merasakan kesedihan yang sama dengan yang saya alami saat ini.

Suatu waktu saya pernah merawat Ibu dari seorang dokter yang juga sedang bertugas di luar pulau, beliau berkali-kali menelpon dan bicara dengan saya dengan nada yang sangat khawatir. Saya bisa merasakan perasaannya.

Saya tuliskan surat ini untuk memohon kesedian TS utk merawat kedua orang tua saya sebagaimana TS merawat orang tua sendiri, sebagaimana sumpah yang pernah kita ucapkan, bahwa kita adalah saudara kandung, maka anggaplah orang tua saya adalah juga orang tua TS, dengan begitu saya bisa sedikit membuang rasa bersalah saya akan ketidakhadiran saya di sisi mereka, karena TS semua bisa menggantikan posisi saya di sana.

Sebagai Teman Sejawat, saya juga akan memperlakukan orang tua TS yang mungkin suatu hari saya rawat sebagaimana orang tua saya sendiri agar TS semua bisa menjalankan tugas dengan tenang di sana.

Pengorbanan memang takdir kita. Semoga kita tetap ikhlas menjalani tugas dan mendapat ridho dari Allah swt.

Demikian surat ini saya buat, atas bantuan TS semua saya ucapkan terimakasih.


Entikong, 23 Maret 2017

dr. Frisa Buzarudina

Rabu, 01 Juni 2016

Jika Kamu Pergi

Jika kamu pergi, dunia mungkin tidak akan berhenti berputar. Bumi tetap menjalankan tugasnya seperti sedia kala. Namun, bagiku dunia telah berakhir. Tidak ada lagi rimbunan kebahagiaan yang setiap hari kamu bawakan untukku. Melengkapi perjalanan panjangku.

Jika kamu pergi, matahari mungkin tidak akah berhenti bersinar. Siang tetaplah terang sebagaimana mestinya. Namun, bagiku semua akan gelap gulita dan tak terlihat apa-apa. Tak adalagi cahaya pada kedua bola mata yang begitu ku gemari warnanya.

Jika kamu pergi, waktu mungkin tidak akan berhenti berputar. Detik jam akan tetap berjalan sebagaimana biasanya. Namun, bagiku waktu tidak akan seberarti ketika kamu ada di sisiku, menemaniku seperti biasanya. Waktu akan berjalan dengan sangat lamban seolah menghukumku untuk berlama-lama menderita.

Jika kamu pergi, mungkin aku tidak akan mati. Jantungku akan berdetak seperti seharusnya. Namun, ia tak akan semerdu ketika kita bersama. 

Keika kamu pergi,  mungkin tidak akan ada yang berubah, kecuali aku yang merindukanmu dan hidup dalam kekosongan tanpamu.

Selasa, 15 Maret 2016

Aku Hanya Akan Menikahi Orang Yang Aku Cintai

Begitu banyak musim yang telah kita lewati berdua. Kita bertemu dan saling mencintai. Membangun kerangka kokoh sebuah pondok cinta yang nanti akan kita tempati bersama, menghabiskan masa muda dalam mabuknya cinta, dan menjalani masa tua hingga kematian bersama. Seperti itu impian kita. Sederhana. Hanya ingin hidup  dengan cara mencintai dan dicintai.

Begitu banyak hari yang telah kita jalani. Merajut asa-asa yang berterbangan di antara rimbun ilalang. Kadang durinya menusuk telapak kaki kita berdua hingga berdarah. Namun masing-masing dari kita mempunyai penawarnya.

Aku memelukmu di bawah rimbun pepohonan yang terasa teduh ketika peluhmu mulai menghalangi kedua kelopak matamu. Kita berjuang sekeras ini, bukan untuk apa, bukan untuk siapa. Kita berjuang sekeras ini agar dapat bersatu dalam tangan Tuhan, karena hanya disanalah tempat teraman untuk kita.

Kadang bila terlalu lelah, kita hanya bisa terbaring di hamparan rumput hijau. Saling menggenggam dan membayangkan sebuah kehidupan, dimana hanya ada kau, aku, dan buah cinta kita berdua. Saat itu mata kita terpejam, jantung kita berdebar, dan bibir kita tersenyum.

Aku hanya akan menikahi orang yang aku cintai, walaupun itu berarti aku harus berdarah-darah dalam kebun ilalang setiap hari. Tak mengapa bagiku dibanding aku harus hidup dengan lubang besar di hati ini.

Aku hanya akan menikahi orang yang aku cintai, walaupun itu artinya aku harus siap menghemat udara yang aku hirup. Itu lebih baik bagiku dibandingkan aku harus menghabiskan sisa hidupku dengan orang yang tak pernah ada dalam hatiku.

Aku hanya ridho akan ucapan ijab waliku pada orang yang aku cintai. Aku hanya akan menikahi orang yang aku cintai. Aku hanya akan menikahi kamu. Kamu atau tidak sama sekali.

Selasa, 02 Februari 2016

Sehingga..

Untukmu yang selalu di sisi, meski tak selalu ku hiraukan dengan segenap jiwaku. Terimakasih karena selalu ada dalam keheningan yang seringkali tak bertuan, menyulam tanda tanya besar tentang abstraknya hidup di tahun yang akan datang.

Untukmu yang tak tak lelah menggenggam tangan yang tak setiap waktu ingin meraih ini. Terimakasih karena meski di persimpangan pun tak kau paksa aku mengikuti jalan yang kau mau..

Kekekalan kadang berbicara tentang waktu. Tentang yang bertahan di tengah kemusnahan. Tentang yang berteriak di tengah keheningan. Tentang hujan di tengah kemarau. Tentang kau di tengah kebimbangan. Tentang cerita kita di tengah dongeng dan sayembara.

Jauh sebelum kau ada, sebelum kita mengenal, sebelum ku cintai kau, sebelum kau cintai aku. Jauh sebelum waktu itu. Jauh sebelum hari ini. Ku harap Tuhan memang sudah menakdirkan aku sebagai pengisi kekosongan di rongga tulang rusukmu. Sehingga aku tak perlu lagi merasakan lelahnya menerka takdir. Sehingga aku tak perlu lagi merasakan pahitnya kehilangan.

Jumat, 20 November 2015

Nak, jika kau membaca ini...

Nak.. jika suatu saat nanti kamu membaca ini, entah beberapa tahun lagi ketika kamu dilahirkan dari rahim ibu, kemudian tumbuh dan dapat membaca serta memahami ini, ibu ingin berpesan padamu. Jika kamu ditakdirkan menjadi seorang laki-laki maka jadilah seseorang seperti orang yang bersama ibu saat ini. Dan jika kamu ditakdirkan menjadi seorang perempuan maka carilah sosok laki-laki seperti orang yang sekarang sedang bersama ibu.
Namanya Muhammad Arifin. Dia adalah kekasih ibu saat ini sejak kurang  lebih 2 tahun 5 bulan yang lalu. Umurnya lebih muda dari ibu. Namun ia sangat deasa, jauh lebih dewasa dari ibu. Sejauh ini ia tak pernah benar-benar menyakiti hati ibu. Tidak pernah. Jangan tanyakan pada ibu apakah ibu pernah menyakiti hatinya. Ibu pun tak tau apakah perlakuan ibu selama ini padanya berhasil membuat luka di hatinya atau tidak. Namun, sepengetahuan ibu, ibu bukanlah kekasih yang terlalu baik untuknya. Tidak terlalu baik untuk membuatnya menjadi laki-laki ibu yang sangat bersabar terhadap sikap ibumu yang kadang masih kekanak-kanakan ini.

 Dia seorang lak-laki yang cukup tampan sehingga dulu banyak sekali wanita di sekitarnya. Banyak sekali nak, sehingga saat tahun pertama ibu bersamanya banyak masalah yang diakibatkan oleh hal ini. Bukan, itu bukan karenanya. Ia begitu setia, nak. Ibu mungkin tak bisa menggambarkan seberapa setianya dia disini. Kadang hanya air mata syukur ibu yang bisa ibu ungkapkan untuk berterimakasih.

Hal yang membuat ibu menuliskan ini adalah karena kemarin ibu baru saja melakukan kesalahan besar padanya. Kesalahan bodoh ibu. Dan seperti biasa ia tetap bersabar, tetap mempertahankan ib seperti sebelum-sebelumnya.

Ibu kemarin merajuk karena masalah kecil. Masalah kecil yang saat ibu merajuk ibu anggap sebagai masalah besar yang tak termaafkan karena ego ibu. Ya, ibu memang sering seperti itu, nak. Ibu kemudian tak menjawab pesannya. Ibu tak mengangkat telponnya. Dan seperti biasa, setelah semua seperti itu ia akan mengirimkan pesan akan segera menghampiri ibu. Saat itu ibu di rumah, sedang tak enak badan, jadi ibu melarangnya. Namun ia tak mendengarkan perkataan ibu karena rasa khawatir dan rasa takut kehilangannya. Ibu sudah menduga ia akan melakukannya. Jadi ibu cabut baterai bel rumah ibu agar tak berisik saat ia datang. Kemudian ibu berusaha tidur.
Ia datang, nak. Ia mengetuk pintu berkali-kali. Menelpon ibu berkali-kali. Yang membuat ibu tak bisa terlelap. Ibu bertambah berang. Ibu lihat ia dari jendela ruang tamu dan melihatnya terjongkok putus asa di teras rumah ibu. Saat itu entah karena kesetanan apa, ibu bukan justru kasihan padanya. Ibu justru makin merasa marah padanya. Ibu buka pintu dan melemparkan dua pasang sepatu ibu ke arahnya, tanpa memikirkan apa-apa. Tanpa memikirkan perasaanya. Dan dia tak marah sama sekali. Dia berusaha menenangkan ibu, tapi ibu justru memberontak dan meninju-ninju dadanya. Ibu tak sadar dengan yang ibu lakukan sampai akhirnya ia berhasil menenangkan ibu dan berkata ia sama sekali tak akan menyerah selama ibu masih menyayanginya meski apapun yang ibu lakukan.
"Seumur hidup abang gak pernah sayang sama perempuan kayak gini dek, kalau bukan karena sayang abang gak akan kesini. Sampai kapanpun abang gak akan menyerah untuk bisa hidup dengan adek."
Kata-kata itu yang selalu dia ucapkan setiap kali ibu begini, nak. Tak pernah ia mengeluarkan kata-kata kasar pada ibu. Kalau ibu? Jangan kamu tanya, nak. Ibu begitu sering mengeluarkan kata-kata pedas padanya.
"Masih mau kan dek hidup dengan abang? Abang minta maaf."
Entah lah, nak. Apa yang membuat ibu sering menyakiti laki-laki sebaik dia. Laki-laki yang begitu takutnya kehilangan ibu.
Saat itu akhirnya ibu hanya bisa memeluknya dan tangis ibu tumpah. Bukan karena ibu sakit hati, nak. Saat itu sebenarnya ibu menyesal telah memperlakukan dia seperti itu.

Nak, ibu sering sekali berbuat salah padanya. Tapi entah mengapa dia selalu memaafkan ibu.

Saat ibu susah dia tak pernah meninggalkan ibu, nak. Ia bahkan rela terjaga semalaman dan besoknya harus kerja saat ibu sakit. Ia bahkan rela jam 3 malam ke rumah ibu saat ibu sendirian untuk membawakan ibu obat saat tak ada siapa-siapa yang bisa menolong ibu. Dan ia bahkan rela menempuh perjalanan 4 jam dengan sepeda motor pada malam hari saat ibu tengah bertugas di singkawang hanya karena ibu marah padanya, nak. Lagi-lagi hanya karena ibu marah. Dan ia tak bisa menunggu sampai besok hari karena tak tenangnya. Entahlah, nak. Apa yang ada di pikiran ibu. Ibu sama sekali tak memikirkan keselamatannya. Tapi ibu sama sekali tak mengira ia akan senekad itu saat itu.

Nak, jika laki-laki ini memang ditakdirkan Tuhan menjadi ayahmu, maka contohlah dia. Dia tak banyak bicara, nak. Ia jarang sekali merayu ibu. Tapi, nak, tindakannya begitu bertanggung jawab.
Ia bahkan rela berhari-hari menjaga oma kalian di rumah sakit saat ibu tak di pontianak, nak. Ia begitu menyayangi dan menghormati dan menyayangi oma kalian. Ya, Tuhan, ibu sudah tak bisa lagi berkata apa-apa. Entah apa lagi yang ibu cari dan tak ada pada dirinya, nak. Begitulah seharusnya laki-laki, nak.

Nak, jika memang laki-laki ini ditakdirkan menjadi ayahmu. Kamu bisa menanyakan padanya, seberapa besar ia menyayangi ibu. Karena saat ibu bertanya, ia tak pernah menjawabnya. Ia hanya menatap ibu dan tersenyum. Ia tak pernah menggambarkannya, nak. Mungkin ia bisa menggambarkannya padamu.

Jika dia tak ditakdirkan menjadi ayahmu. Maka tetaplah hormati dan contoh sikapnya. Ia laki-laki yang baik, nak.



Ibumu

Minggu, 15 November 2015

Jangan Biarkan Kita Jadi Generasi Dokter Terakhir

Assalamualaikum. Salam sejahtera, sejawat-sejawatku. Apa kabar kalian hari ini?
Ada yang mungkin masih tertidur di kasurnya setelah shift 32 jam jaga, atau mungkin ada yang saat ini sedang menunaikan tugasnya di IGD, sedang berkutat dengan pasien GCS 3, anak remaja CKB, atau ibu-ibu preeklamsia dan diri sendiri lupa bahwa belum makan dari pagi?
Apapun itu, semoga kalian selalu dirahmati Tuhan dalam tugas kalian. Semoga pikiran kalian yang sedang kacau karena kurang tidur tidak menjadikan sedikit khilaf dalam tindakan kalian sebagai dokter. Karena sungguh, sejawatku kalian adalah manusia-manusia yang dengan rela seumur hidupnya meletakkan satu kaki di rumah sakit dan satunya lagi di penjara. Kita tidak boleh salah bicara, karena nanti dianggap jahat. Tidak boleh sedikit cemberut karena akan dianggap tidak ikhlas menolong orang. Tidak boleh marah meskipun tengah dibentak-bentak keluarga pasien yang mendesak anaknya yang demam tiga puluh tujuh derajat untuk didahulukan diantara pasien anak dengan kejang demam, pasien KLL dengan CKB, pasien geriatri dengan STEMI, dan pasien remaja dengan Peritonitis, dan kita hanya satu-satunya dokter disitu. Kita tidak boleh marah saat mereka menganggap kita menelantarkan pasien lalu melaporkan kita sebagai terpidana, seorang dokter yang jahat, atau bahkan seorang pembunuh.
Oh ya, dan kita juga tidak boleh marah saat sedikit kelalaian kita sebagai dokter yang juga adalah seorang manusia kini telah diputuskan menjadi salah satu tindakan kriminal. Kita tidak boleh marah saat penilaian terhadap kode etik kerja kita tidak lagi jadi pertimbangan. Kita juga tidak boleh marah saat perlahan gelar kita sebagai "penolong" terkikis lalu terganti dengan kata "penodong".

Kita tidak boleh marah saat kita menuntut sedikit hak kita tapi kemudian dikatakan tak ikhlas mengabdi pada negara kita tercinta ini. Kita tidak boleh marah saat sejawat kita yang kita ketahui sudah bekerja keras dalam tugasnya kemudian dipenjara karena tuduhan malpraktek karena pasien operasi SC nya meninggal akibat emboli paru, yang kita ketahui bukanlah sebuah kesalahan dokter, namun sebuah resiko operasi. Kita juga tidak boleh marah saat melihat sejawat kita mati dalam tugasnya di daerah terpencil tapi kemudian tidak dibela atau dihargai oleh orang yang kita harapkan.

Oh, tidak, sejawatku. Aku tidak akan bicara apa-apa soal upah kita sebagai lini pertama kesehatan di negara ini. Karena sungguh aku tak tega. Aku juga tidak akan membicarakan tentang bagaimana sistem pendidikan di negara kita tercinta ini karena sungguh aku tak sanggup.
Aku hanya bicara tentang bagaimana pekerjaan kita.

Bagaimanapun. Aku minta, kita tidak boleh marah. Karena jika kita marah lalu siapa yang akan menyelamatkan orangtua mereka yang mengalami stroke hemoragik, siapa yang akan menyelamatkan anak mereka dengan syok hipovolemik akibat fraktur os femoral, siapa yang menyelamatkan nenek mereka yang mimisan tak berhenti karena hipertensi emergensi?

Apapun yang kalian alami, sejawatku. Jangan biarkan dirimu marah. Jangan biarkan kita jadi generasi terakhir dokter di negara ini.

Tetaplah tersenyum seolah-olah pekerjaan ini adalah pekerjaan tanpa beban. Tetaplah terlihat bahagia seolah-olah pekerjaan ini adalah pekerjaan dengan gaji tertinggi di negara ini. Tetaplah terlihat bahagia, seperti biasanya. Karena mungkin dengan begitu, generasi penerus kita tetap menginginkan menjadi pengganti kita meskipun mereka tau akibatnya.

Jangan biarkan kita jadi generasi dokter terakhir di negeri ini, karena mereka membutuhkan kita..


Salam sejawat untuk snelli usang yang mungkin saat ini penuh bercak darah.
Semoga mereka yang kita tolong hari ini nanti akan mengulurkan tangannya di syurga.



Pontianak, 15 November 2015
Sejawatmu

Kamis, 08 Oktober 2015

Waktu

Waktu hanyalah tandu. Yang membawa kita beranjak dari situ, dari tempatmu berpijak dahulu. Waktu adalah caraNya membuat kita tau bahwa hidup hanyalah sebuah perjalanan. Tentang menemui dan ditemui serta tentang meninggalkan dan ditinggalakan. Waktu adalah cara bumi dan langit membuatmu tau bahwa semua yang kau cari di antara keduanya hanya akan kau temukan ketika kau menunggu. Kadang kau menanti, kadang kau jadi yang dinanti.

Waktu yang melahirkan, waktu juga yang mematikan. Hingga kita sadar, diri kita yang sombong ini hanyalah sebagian kecil dari pergulirannya. Lahir, tumbuh dewasa, kemudian mati. Seperti itu berulang-ulang hingga Pohon di Syurga sana bermiliyaran kali menumbuhkan kemudian menggugurkan daunnya.

Jika waktu yang kita punya ternyata sesingkat itu lalu sebenarnya apa yang kita inginkan ada untuk mengisi yang kita punya? Tentu saja semua manusia akan menjawab dengan satu jawaban: "Bahagia"

Esensi hidup hanyalah 2 hal, membahagiakan dan dibahagiakan dengan mencintai dan dicintai. Semua manusia pasti ingin mati dengan tenang, dalam keadaan tersebut.