Kamis, 25 Juli 2013

Life...

Kadang ketika aku berada di ujung keputusasaanku, aku bertanya pada Tuhan, lewat airmataku, mengapa jalan hidupku tak dibuatNya semulus dan senormal mereka. Mengapa untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan yang sangat standar bagi sebagian orang, aku bahkan harus mengorbankan banyak hal dan mengorbankan hal besar: perasaanku. Tapi disana ia memberikanku jawaban dengan kebijaksanaanNya : Ia mengajarkanku arti syukur.
Katanya "semakin besar ujian yang diterima seseorang , artinya semakin tinggi pula derajatnya." Ya, katanya. Aku tak peduli itu kata siapa. Apakah itu kata-kata manusia yang memiliki derajat serendah-rendahnya, atau mungkin itu perkataan manusia yang derajatnya paling tinggi sekalipun. Yang pasti kata-kata itu adalah kata-kata yang selalu memotivasiku, atau, mungkin memotivasi banyak orang untuk paling tidak sekedar bertahan dengan apa yang diperjuangkannya sekarang. Apalah arti sebuah derajat untuk manusia yang bisa memotivasi. Mungkin bahkan ia tak peduli dengan dirinya sendiri. Ya, mungkin. Memangnya siapa yang bisa memastikan sejarah dari sebuah sabda?
Bah! Sabda?! Kadang-kadang aku juga berkata "peduli setan!" dengan sabda. Mereka bahkan sering terkesan sok tau dan menggurui. Bahasanya terlalu tinggi untuk orang rendah sepertiku.  Apa arti perkataan tanpa realisasi rancangan dan tindakan. Terkadang aku merasa, aku, hanya bisa berkata-kata atau mengandalkan kata saja untuk bertahan. Ya apalagi? Saat aku benar-benar berada  di ujung keputus-asaan aku hanya berusaha menuangkannya dalam kalimat positif, dan hal terakhir yang aku punya hanya kata-kata dalam doa. Namun mereka dahsyat. Hah, serba salah.

Hidup  mungkin terkesan tak adil. Tapi memangnya dimana kita bisa menemui keadilan di dunia ini? Keadilan mungkin hanya omong kosong yang dimanipulasi menjadi hal penting bagi orang-orang penting.
Yang menindas, dimanipulasi menjadi orang berwajah malaikat untuk orang lain. Cih! menjijikkan.

Hidup, oh hidup. Sayangnya aku ditakdirkan menjalani profesi menjadi penyelamatmu di tubuh seseorang. Mempertahankan ketidakadilan. Mempertahankan nyeri yang berulang demi segelintir perpanjangan umur. Pernah suatu hari aku bertanya pada seorang sahabatku "bagaimana caranya menjalani hidup tanpa rasa sakit?" dan bodoh sekali pertanyaanku itu ketika aku tau bahwa ternyata nyeri sendiri adalah salah satu indikator yang menandakan seseorang masih hidup. Nyeri adalah indikator terakhir seseorang bisa dinyatakan koma setelah iatak tanggap lagi akan suara dan sentuhan. Ya, nyeri bahkan adalah hal terakhir yang bisa manusia rasakan ketika ia hampir kehilangan hidupnya. Dari situ aku mengerti, ternyata nyeri adalah takdir yang Tuhan berikan kepada manusia, dan nyatanya, manusia mungkin lebih memilih untuk bertahan lama-lama dalam nyeri saja, daripada ia kehilangan sensasi nyeri di salah satu anggota tubuhnya, atau biasa kita sebut lumpuh. Nyatanya manusia masih saja mau jatuh cinta meskipun ia tau ketika  ia berani melakukannya, artinya ia siap disakiti. Itu akan lebih baik, daripada harus hidup dalam kekosongan. Dari situ aku tau, bahwa manusia akan lebih memilih hidup dengan nyeri daripada dengan kekosongan dan ke-mati-rasaa-an.

Hidup, bagi sebagian orang adalah petualangan untuk mencari kebebasan. Kebebasan dalam belenggu kepedihan yang dipendam. Sebagaimana aku menginginkan berteriak di atas tebing tinggi lalu mendengarkan gemanya berlalu. Jauh, dan hilang. Sebagaimana aku menginginkan terjun bebas dari atas sayap pesawat, lalu tiba-tiba tumbuh sayap di kedua sisi punggungku. Sebagaimana aku ingin  semua jalan raya yang sesak kendaraan ini aku tutup aksesnya untuk ku pakai tidur siang. Ya, bebas itu jauh dari kesesakan.

Hidup. Ketika letih bertahan karena diriku sendiri, setidaknya aku punya alasan untuk bertahan karena orang lain yang masih membutuhkanku. Dan aku tak berfikir lagi bahwa Tuhan menganugerahkan aku hidup karena aku, tapi Dia menganugerahkan aku karena aku dibutuhkan orang lain. Untuk menyelamatkan hidup orang lain. Untuk menyelamatkan perasaan orang lain.