Rabu, 10 April 2013

Ini (Bukan) Sajak Allegro


Di bawah rinai, ada riak, menari-nari dalam gelap. Mengalir dan jatuh, mencari muara. Dalam sabarnya dia menanti pagi dengan embunnya, untuk sedikit meredakan dahaganya terhadap udara bumi. Kadang ia tak mengerti mengapa matahari terasa begitu jauh ketika ia tertunduk, dan terasa sangat silau ketika ia mendongak.
Ada wajah yang ia belenggu sekian lama dalam kelambu hatinya. Ia sembunyikan. Bukan karena tak mau wajah tercinta itu tampak, namun takdir yang mengelabui akalnya tak pernah berhenti mengendalikan tetes-tetes bening airmata dan peluhnya. Kanan dan kiri terasa sama. Tiada pembeda. Karenanya seringkali ia kehilangan arah dan musti berjalan dari awal lagi, memecahkan misteri labirin mati.
Sebuah melodi lama, perlahan ia tinggalkan.
Waktu melukiskan takdir,
Larghissimo....
Dalam tadahan tangan yang sedang berdoa, ia lihat mutiara. Sebening cinta Bunda yang menanti lama untuk kebahagiaan. Setegar perjuangan ayah yang menukar peluh dan usia dengan sekantong recehan. Keduanya dibungkus dua kelopak mata yang tertutup dan kedua alis yang mengkerut sedemikian kuatnya akibat khyusuk yang tak hingga.
Diminuendo... Decrescendo...
Ketika kita kehabisan kata untuk mendeskripsikan Tuhan, Dia tak pernah kehabisan apapun untuk menjaga takdir tetap berpegang pada rencana awal.
Aku percaya, ketika manusia jatuh cinta dan patah hati dalam waktu bersamaa, seseungguhnya ia adalah manusia yang Tuhan berikan waktu yang tak terbatas untuk menunggu.
Biarkan lengan cinta berganti sayap. Kokoh. Menaungi. Dan membawa melati terbang tinggi...