Jumat, 20 November 2015

Nak, jika kau membaca ini...

Nak.. jika suatu saat nanti kamu membaca ini, entah beberapa tahun lagi ketika kamu dilahirkan dari rahim ibu, kemudian tumbuh dan dapat membaca serta memahami ini, ibu ingin berpesan padamu. Jika kamu ditakdirkan menjadi seorang laki-laki maka jadilah seseorang seperti orang yang bersama ibu saat ini. Dan jika kamu ditakdirkan menjadi seorang perempuan maka carilah sosok laki-laki seperti orang yang sekarang sedang bersama ibu.
Namanya Muhammad Arifin. Dia adalah kekasih ibu saat ini sejak kurang  lebih 2 tahun 5 bulan yang lalu. Umurnya lebih muda dari ibu. Namun ia sangat deasa, jauh lebih dewasa dari ibu. Sejauh ini ia tak pernah benar-benar menyakiti hati ibu. Tidak pernah. Jangan tanyakan pada ibu apakah ibu pernah menyakiti hatinya. Ibu pun tak tau apakah perlakuan ibu selama ini padanya berhasil membuat luka di hatinya atau tidak. Namun, sepengetahuan ibu, ibu bukanlah kekasih yang terlalu baik untuknya. Tidak terlalu baik untuk membuatnya menjadi laki-laki ibu yang sangat bersabar terhadap sikap ibumu yang kadang masih kekanak-kanakan ini.

 Dia seorang lak-laki yang cukup tampan sehingga dulu banyak sekali wanita di sekitarnya. Banyak sekali nak, sehingga saat tahun pertama ibu bersamanya banyak masalah yang diakibatkan oleh hal ini. Bukan, itu bukan karenanya. Ia begitu setia, nak. Ibu mungkin tak bisa menggambarkan seberapa setianya dia disini. Kadang hanya air mata syukur ibu yang bisa ibu ungkapkan untuk berterimakasih.

Hal yang membuat ibu menuliskan ini adalah karena kemarin ibu baru saja melakukan kesalahan besar padanya. Kesalahan bodoh ibu. Dan seperti biasa ia tetap bersabar, tetap mempertahankan ib seperti sebelum-sebelumnya.

Ibu kemarin merajuk karena masalah kecil. Masalah kecil yang saat ibu merajuk ibu anggap sebagai masalah besar yang tak termaafkan karena ego ibu. Ya, ibu memang sering seperti itu, nak. Ibu kemudian tak menjawab pesannya. Ibu tak mengangkat telponnya. Dan seperti biasa, setelah semua seperti itu ia akan mengirimkan pesan akan segera menghampiri ibu. Saat itu ibu di rumah, sedang tak enak badan, jadi ibu melarangnya. Namun ia tak mendengarkan perkataan ibu karena rasa khawatir dan rasa takut kehilangannya. Ibu sudah menduga ia akan melakukannya. Jadi ibu cabut baterai bel rumah ibu agar tak berisik saat ia datang. Kemudian ibu berusaha tidur.
Ia datang, nak. Ia mengetuk pintu berkali-kali. Menelpon ibu berkali-kali. Yang membuat ibu tak bisa terlelap. Ibu bertambah berang. Ibu lihat ia dari jendela ruang tamu dan melihatnya terjongkok putus asa di teras rumah ibu. Saat itu entah karena kesetanan apa, ibu bukan justru kasihan padanya. Ibu justru makin merasa marah padanya. Ibu buka pintu dan melemparkan dua pasang sepatu ibu ke arahnya, tanpa memikirkan apa-apa. Tanpa memikirkan perasaanya. Dan dia tak marah sama sekali. Dia berusaha menenangkan ibu, tapi ibu justru memberontak dan meninju-ninju dadanya. Ibu tak sadar dengan yang ibu lakukan sampai akhirnya ia berhasil menenangkan ibu dan berkata ia sama sekali tak akan menyerah selama ibu masih menyayanginya meski apapun yang ibu lakukan.
"Seumur hidup abang gak pernah sayang sama perempuan kayak gini dek, kalau bukan karena sayang abang gak akan kesini. Sampai kapanpun abang gak akan menyerah untuk bisa hidup dengan adek."
Kata-kata itu yang selalu dia ucapkan setiap kali ibu begini, nak. Tak pernah ia mengeluarkan kata-kata kasar pada ibu. Kalau ibu? Jangan kamu tanya, nak. Ibu begitu sering mengeluarkan kata-kata pedas padanya.
"Masih mau kan dek hidup dengan abang? Abang minta maaf."
Entah lah, nak. Apa yang membuat ibu sering menyakiti laki-laki sebaik dia. Laki-laki yang begitu takutnya kehilangan ibu.
Saat itu akhirnya ibu hanya bisa memeluknya dan tangis ibu tumpah. Bukan karena ibu sakit hati, nak. Saat itu sebenarnya ibu menyesal telah memperlakukan dia seperti itu.

Nak, ibu sering sekali berbuat salah padanya. Tapi entah mengapa dia selalu memaafkan ibu.

Saat ibu susah dia tak pernah meninggalkan ibu, nak. Ia bahkan rela terjaga semalaman dan besoknya harus kerja saat ibu sakit. Ia bahkan rela jam 3 malam ke rumah ibu saat ibu sendirian untuk membawakan ibu obat saat tak ada siapa-siapa yang bisa menolong ibu. Dan ia bahkan rela menempuh perjalanan 4 jam dengan sepeda motor pada malam hari saat ibu tengah bertugas di singkawang hanya karena ibu marah padanya, nak. Lagi-lagi hanya karena ibu marah. Dan ia tak bisa menunggu sampai besok hari karena tak tenangnya. Entahlah, nak. Apa yang ada di pikiran ibu. Ibu sama sekali tak memikirkan keselamatannya. Tapi ibu sama sekali tak mengira ia akan senekad itu saat itu.

Nak, jika laki-laki ini memang ditakdirkan Tuhan menjadi ayahmu, maka contohlah dia. Dia tak banyak bicara, nak. Ia jarang sekali merayu ibu. Tapi, nak, tindakannya begitu bertanggung jawab.
Ia bahkan rela berhari-hari menjaga oma kalian di rumah sakit saat ibu tak di pontianak, nak. Ia begitu menyayangi dan menghormati dan menyayangi oma kalian. Ya, Tuhan, ibu sudah tak bisa lagi berkata apa-apa. Entah apa lagi yang ibu cari dan tak ada pada dirinya, nak. Begitulah seharusnya laki-laki, nak.

Nak, jika memang laki-laki ini ditakdirkan menjadi ayahmu. Kamu bisa menanyakan padanya, seberapa besar ia menyayangi ibu. Karena saat ibu bertanya, ia tak pernah menjawabnya. Ia hanya menatap ibu dan tersenyum. Ia tak pernah menggambarkannya, nak. Mungkin ia bisa menggambarkannya padamu.

Jika dia tak ditakdirkan menjadi ayahmu. Maka tetaplah hormati dan contoh sikapnya. Ia laki-laki yang baik, nak.



Ibumu

Minggu, 15 November 2015

Jangan Biarkan Kita Jadi Generasi Dokter Terakhir

Assalamualaikum. Salam sejahtera, sejawat-sejawatku. Apa kabar kalian hari ini?
Ada yang mungkin masih tertidur di kasurnya setelah shift 32 jam jaga, atau mungkin ada yang saat ini sedang menunaikan tugasnya di IGD, sedang berkutat dengan pasien GCS 3, anak remaja CKB, atau ibu-ibu preeklamsia dan diri sendiri lupa bahwa belum makan dari pagi?
Apapun itu, semoga kalian selalu dirahmati Tuhan dalam tugas kalian. Semoga pikiran kalian yang sedang kacau karena kurang tidur tidak menjadikan sedikit khilaf dalam tindakan kalian sebagai dokter. Karena sungguh, sejawatku kalian adalah manusia-manusia yang dengan rela seumur hidupnya meletakkan satu kaki di rumah sakit dan satunya lagi di penjara. Kita tidak boleh salah bicara, karena nanti dianggap jahat. Tidak boleh sedikit cemberut karena akan dianggap tidak ikhlas menolong orang. Tidak boleh marah meskipun tengah dibentak-bentak keluarga pasien yang mendesak anaknya yang demam tiga puluh tujuh derajat untuk didahulukan diantara pasien anak dengan kejang demam, pasien KLL dengan CKB, pasien geriatri dengan STEMI, dan pasien remaja dengan Peritonitis, dan kita hanya satu-satunya dokter disitu. Kita tidak boleh marah saat mereka menganggap kita menelantarkan pasien lalu melaporkan kita sebagai terpidana, seorang dokter yang jahat, atau bahkan seorang pembunuh.
Oh ya, dan kita juga tidak boleh marah saat sedikit kelalaian kita sebagai dokter yang juga adalah seorang manusia kini telah diputuskan menjadi salah satu tindakan kriminal. Kita tidak boleh marah saat penilaian terhadap kode etik kerja kita tidak lagi jadi pertimbangan. Kita juga tidak boleh marah saat perlahan gelar kita sebagai "penolong" terkikis lalu terganti dengan kata "penodong".

Kita tidak boleh marah saat kita menuntut sedikit hak kita tapi kemudian dikatakan tak ikhlas mengabdi pada negara kita tercinta ini. Kita tidak boleh marah saat sejawat kita yang kita ketahui sudah bekerja keras dalam tugasnya kemudian dipenjara karena tuduhan malpraktek karena pasien operasi SC nya meninggal akibat emboli paru, yang kita ketahui bukanlah sebuah kesalahan dokter, namun sebuah resiko operasi. Kita juga tidak boleh marah saat melihat sejawat kita mati dalam tugasnya di daerah terpencil tapi kemudian tidak dibela atau dihargai oleh orang yang kita harapkan.

Oh, tidak, sejawatku. Aku tidak akan bicara apa-apa soal upah kita sebagai lini pertama kesehatan di negara ini. Karena sungguh aku tak tega. Aku juga tidak akan membicarakan tentang bagaimana sistem pendidikan di negara kita tercinta ini karena sungguh aku tak sanggup.
Aku hanya bicara tentang bagaimana pekerjaan kita.

Bagaimanapun. Aku minta, kita tidak boleh marah. Karena jika kita marah lalu siapa yang akan menyelamatkan orangtua mereka yang mengalami stroke hemoragik, siapa yang akan menyelamatkan anak mereka dengan syok hipovolemik akibat fraktur os femoral, siapa yang menyelamatkan nenek mereka yang mimisan tak berhenti karena hipertensi emergensi?

Apapun yang kalian alami, sejawatku. Jangan biarkan dirimu marah. Jangan biarkan kita jadi generasi terakhir dokter di negara ini.

Tetaplah tersenyum seolah-olah pekerjaan ini adalah pekerjaan tanpa beban. Tetaplah terlihat bahagia seolah-olah pekerjaan ini adalah pekerjaan dengan gaji tertinggi di negara ini. Tetaplah terlihat bahagia, seperti biasanya. Karena mungkin dengan begitu, generasi penerus kita tetap menginginkan menjadi pengganti kita meskipun mereka tau akibatnya.

Jangan biarkan kita jadi generasi dokter terakhir di negeri ini, karena mereka membutuhkan kita..


Salam sejawat untuk snelli usang yang mungkin saat ini penuh bercak darah.
Semoga mereka yang kita tolong hari ini nanti akan mengulurkan tangannya di syurga.



Pontianak, 15 November 2015
Sejawatmu