Minggu, 15 November 2015

Jangan Biarkan Kita Jadi Generasi Dokter Terakhir

Assalamualaikum. Salam sejahtera, sejawat-sejawatku. Apa kabar kalian hari ini?
Ada yang mungkin masih tertidur di kasurnya setelah shift 32 jam jaga, atau mungkin ada yang saat ini sedang menunaikan tugasnya di IGD, sedang berkutat dengan pasien GCS 3, anak remaja CKB, atau ibu-ibu preeklamsia dan diri sendiri lupa bahwa belum makan dari pagi?
Apapun itu, semoga kalian selalu dirahmati Tuhan dalam tugas kalian. Semoga pikiran kalian yang sedang kacau karena kurang tidur tidak menjadikan sedikit khilaf dalam tindakan kalian sebagai dokter. Karena sungguh, sejawatku kalian adalah manusia-manusia yang dengan rela seumur hidupnya meletakkan satu kaki di rumah sakit dan satunya lagi di penjara. Kita tidak boleh salah bicara, karena nanti dianggap jahat. Tidak boleh sedikit cemberut karena akan dianggap tidak ikhlas menolong orang. Tidak boleh marah meskipun tengah dibentak-bentak keluarga pasien yang mendesak anaknya yang demam tiga puluh tujuh derajat untuk didahulukan diantara pasien anak dengan kejang demam, pasien KLL dengan CKB, pasien geriatri dengan STEMI, dan pasien remaja dengan Peritonitis, dan kita hanya satu-satunya dokter disitu. Kita tidak boleh marah saat mereka menganggap kita menelantarkan pasien lalu melaporkan kita sebagai terpidana, seorang dokter yang jahat, atau bahkan seorang pembunuh.
Oh ya, dan kita juga tidak boleh marah saat sedikit kelalaian kita sebagai dokter yang juga adalah seorang manusia kini telah diputuskan menjadi salah satu tindakan kriminal. Kita tidak boleh marah saat penilaian terhadap kode etik kerja kita tidak lagi jadi pertimbangan. Kita juga tidak boleh marah saat perlahan gelar kita sebagai "penolong" terkikis lalu terganti dengan kata "penodong".

Kita tidak boleh marah saat kita menuntut sedikit hak kita tapi kemudian dikatakan tak ikhlas mengabdi pada negara kita tercinta ini. Kita tidak boleh marah saat sejawat kita yang kita ketahui sudah bekerja keras dalam tugasnya kemudian dipenjara karena tuduhan malpraktek karena pasien operasi SC nya meninggal akibat emboli paru, yang kita ketahui bukanlah sebuah kesalahan dokter, namun sebuah resiko operasi. Kita juga tidak boleh marah saat melihat sejawat kita mati dalam tugasnya di daerah terpencil tapi kemudian tidak dibela atau dihargai oleh orang yang kita harapkan.

Oh, tidak, sejawatku. Aku tidak akan bicara apa-apa soal upah kita sebagai lini pertama kesehatan di negara ini. Karena sungguh aku tak tega. Aku juga tidak akan membicarakan tentang bagaimana sistem pendidikan di negara kita tercinta ini karena sungguh aku tak sanggup.
Aku hanya bicara tentang bagaimana pekerjaan kita.

Bagaimanapun. Aku minta, kita tidak boleh marah. Karena jika kita marah lalu siapa yang akan menyelamatkan orangtua mereka yang mengalami stroke hemoragik, siapa yang akan menyelamatkan anak mereka dengan syok hipovolemik akibat fraktur os femoral, siapa yang menyelamatkan nenek mereka yang mimisan tak berhenti karena hipertensi emergensi?

Apapun yang kalian alami, sejawatku. Jangan biarkan dirimu marah. Jangan biarkan kita jadi generasi terakhir dokter di negara ini.

Tetaplah tersenyum seolah-olah pekerjaan ini adalah pekerjaan tanpa beban. Tetaplah terlihat bahagia seolah-olah pekerjaan ini adalah pekerjaan dengan gaji tertinggi di negara ini. Tetaplah terlihat bahagia, seperti biasanya. Karena mungkin dengan begitu, generasi penerus kita tetap menginginkan menjadi pengganti kita meskipun mereka tau akibatnya.

Jangan biarkan kita jadi generasi dokter terakhir di negeri ini, karena mereka membutuhkan kita..


Salam sejawat untuk snelli usang yang mungkin saat ini penuh bercak darah.
Semoga mereka yang kita tolong hari ini nanti akan mengulurkan tangannya di syurga.



Pontianak, 15 November 2015
Sejawatmu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar